Melihat foto makanan di Media Sosial sudah bukan sesuatu
yang aneh saat ini, hidangan yang dipesan terlebih dahulu diabadikan dan
diunggah ke Media Sosial sebelum disantap. Berikut ulasannya mengenai fenomena
tersebut yang dikutip dari vivanews.co.id (11/05/13).
Ya, makanan tersebut kemudian disebarluaskan melalui media
sosial. Jika dilihat dari kacamata sosiolog, hal tersebut dianggap sebagai
luapan ekspresi. Dalam artian lain, seseorang yang memamerkan hidangannya lewat
media sosial, butuh pengakuan.
"Dalam hal ini yang menjadi poin utama adalah eksistensi. Pada dasarnya
mereka hanya ingin menciptakan sekaligus memberi kesan pada orang lain seperti
yang diinginkan," kata Sosiolog, Daisy Indira Yasmine, saat ditemui
di Cilandak Town Square, Jakarta.
Perkembangan teknologi termasuk media sosial memang semakin menjamur. Hal ini,
tentu menciptakan ruang tersendiri bagi banyak orang untuk berinteraksi dengan
orang lain.
Terkait soal pamer makanan di media sosial, perkara apakah orang yang
mengunggah gambar makanan tersebut memang benar mengkonsumsi hidangan tersebut
atau tidak, bukan hal yang penting. Bagi mereka, yang diinginkan hanya sebatas
agar orang lain menilai identitasnya.
"Dengan kata lain, ini adalah salah satu kebutuhan. Bukan hanya sekedar
materi, namun untuk diakui (identitasnya) oleh orang lain. Tapi bentuk dan
ruang pengakuannya berbeda," kata Daisy.
Kehilangan Identitas Diri
Sebelumnya, kebiasaan pamer makanan di media sosial, juga dinilai oleh Dr.
Valerie Taylor, psikiater dari Women College Hospital, University of Toronto, Kanada
sebagai kebiasaan yang dapat berpotensi pada gangguan psikologis.
Diakaui kembali oleh Daisy, hal tersebut memang dapat saja terjadi. Awalnya
memang agar orang lain memberi kesan. Saat orang lain memberikan respon
positif, seseorang akan ketagihan atau ada rasa ketergantungan pada media
sosial.
"Kalau kadarnya (ketagihan) sudah tinggi, tak mampu dikontrol, dampaknya
orang tersebut tak dapat mengenal identitasnya. Ini karena ia telah terpuaskan,
perasaan telah terluapkan," kata Daisy.
Dengan demikian, seseorang lebih suka melancarkan aksi di dunia maya. Ini
lantaran tak ada tekanan sosial atau penindasan langsung.
Sumber foto :
tekno.liputan6.com